Beranjak

"Kau bukan prioritas baginya, disaat hidup mati mu kau berikan untukknya. Dia mengacuhkanmu. Setiap detiknya, setiap jengkal usahamu mempertahankan apa yang kau anggap pantas, berbanding terbalik dengan apa yang dia lakukan. Setiap detiknya, dia selalu berusaha membuatmu takut dan gelisah. Takut akan kehilangannya, dan gelisah akan hadirnya yang tak jua menghampiri. Kau harus sadari itu, namun sepertinya kau lebih nyaman untuk bersikeras. Mempertahankan mahluk egois macam dia. Untuk apa lagi dia mempertahankanmu bila tak ada lagi cinta dihatinya, semakin membuatmu tersakiti setiap detiknya. Dan pada akhirnya, kau dicampakkan. Ke jurang paling dalam yang bahkan kau tak tahu bahwasanya ada jurang sedalam itu. Kau masih tak menyangka, menganga atas fakta yang bahkan tak terduga sebelumnya. Namun, bukankah hidup penuh lelucon? Dan kali ini, inilah leluconnya. Tak lucu? Memang, lebih cenderung pedih, bukan? Hah, sudahlah. Pertanggungjawabkan saja apa yang sudah kau lakukan, selamat berjuang kembali"

Aku tak tahu harus menangis tersedu - sedu atau tertawa geli melihat cerita-ku diulang dari sudut pandangnya. Jadi, ini tamparan yang harus tetap aku senyumi kembali? Baiklah. Tak ada salahnya tersenyum, memang kan? Namun rasanya sedikit janggal ketika kamu harus tersenyum ketika keadaan tak memungkinkan untuk itu. Seperti saat ini, contohnya? Ah, sampai kapan hati akan berhenti bila dituruti? Jawabannya, tidak akan pernah. Jadi, menurutku hal terbaik yang bisa kulakukan saat ini adalah............beranjak. Tak selamanya kenangan manis menyisakan tawa. Tak jarang makin torehkan luka semakin mendalam, setiap detiknya. Walau sulit, ah bila dihadapkan kisah ini aku layaknya anak kemarin sore yang baru mengenal ketidaksinkronan antara apa yang telah ku lakukan dan yang ku dapatkan. Apalagi di masalah...........cinta. Aih, aku malu sendiri mengakuinya. Namun walau telah berkali - kali jatuh. Rasanya setiap kali jatuh tetap sakit. Hatiku tak jua kebal, mungkin itu hal yang mustahil. Karena hati tak akan mati. Siapapun disana, aku berharap agar doa selalu menjadi kawan setiaku ketika gundah kembali bahwa pilihan ini tak lagi salah.

Aku banding Kau

Salam. Mungkin ini tulisan terakhir tentangmu secara berturut. Sesuatu menyebabkan semuanya. Bukan sesuatu. Tapi kau sendiri. Semua kau rancang begitu hinanya. Entahlah, otak memerintah tubuh serta hati untuk membenci. Aku rasa itu memang yang terbaik.

Kau tahu, penghianatan adalah hal terpicik setelah kemunafikan. Kau melakukannya. Aku memaafkannya. Membuat semua keadaan tetap biasa. Aku. Selalu aku. Menyiram tanaman bunga berduri yang kapan saja dapat menusukku. Merawatnya hingga selalu terlihat segar. Melindunginya agar tetap dalam keadaan yang sama. Kau. Selalu kau. Datang bawakan tuba, siramkan nestapa, tinggalkan lara. Dan lebih menyeramkan, kau melenggang tanpa rasa bersalah. Entahlah, mungkin cara pandangku yang salah? Jadikan benci sebagai jalan bukan setapak putih, memang. Namun aku tak perduli. Tumpahkan tinta busuk penuh lara disekujur tubuhku, pernahkah datang untuk beri peduli? Tidak. Dan biarkan benci memudar, aku tak ingin menaruh merahku. Aku ingin benar - benar beranjak, selamat tinggal. Salam, dari aku yang sempat begitu candu penghianatanmu.


Bahkan Ini Lebih Membengkakkan Mata

Halo, apa masih dalam bentuk yang sama? Kurasa tidak, karena kurasa beberapa waktu yang lalu terdengar dirobek oleh yang kau gantungkan harap. Haha, sudahlah. Aku yakin kau kuat. Buktinya hingga detik ini, kau masih berfungsi dalam tubuhku, kan? Mensinkronisasikan jalannya pikiranku agar tak terlampau realistis yang mengakibatkan kesan aku tak lagi punya engkau, perasaan.
Sekarang, dengan apa lagi kita berhdapan? Seperti yang kutahu, orang yang kini dihadapi adalah orang yang sangat gigih. Buktinya, ia tak jua menyerah ketika kita menolaknya, bukan? Agar mempermudah, biarkan aku bercerita sendiri, perasaan.

Ya, aku dihadapkan dengan orang baru. Sepertinya dia lebih mampu menghargaiku, lebih baik, mungkin. Yah, setidaknya lebih baik dari yang lalu. Dari awal, tentu semua berjalan baik dan sangat mulus. Hubungan apa yang dari awal sudah tak baik? Haha entahlah.
Dari perlakuannya, sejauh ini memperlihatkan bahwa dia menyayangiku. Aku harap ini bukan mimpi. Karena aku terlalu lelah untuk menangis atau bahkan menjadi lembek. Aku muak harus mengiris - iris perasaanku demi orang yang bahkan tak perduli dengan keinginanku, atau tak ada sedikitpun usaha untuk memenuhi keinginanku. Aku harap dia yang baru tak seperti itu, semoga saja.

Mungkin berharap tak cukup. Atau mungkin Tuhan belum mengabulkannya. Dengan orang yang dari luar terlihat baik seperti inipun, aku tetap saja harus mengiris hati. Menahan dan membiarkannya meledak didalam sendiri. Membiarkan pesakitan menjalar hingga keujung relung tubuh. Aku bahkan dituntut untuk tetap ini dan itu. Aku telah mencoba menyuarakan inginku, yang bahkan mungkin sekedar untuk kebaikannya. Tapi entahlah, ini seperti terabaikan. Atau tak terindahkan. Lagi - lagi, bahkan hampir setiap harinya aku harus begini. Memotong tipis perasanku secara perlahan, melahirkan isakkan yang terelakkan setiap harinya. Memuakkan. Bahkan aku hampir tak mengenali diriku sendiri yang terus saja menangis tak hentinya setiap hari. Terus saja mengalah demi sesuatu yang bahkan tak sudi mengalah untukknya. Mungkin zat yang terlihat baik dari luar itu mempunyai segumpal ego yang memenuhi isi perasaannya hingga tak dapat celah kecilpun untuk kumasuki dan kutiup dengan angan - angan positif. Tak bisa, tetap tak bisa.
Padahal dulu aku pernah mengalah akannya, membumi hanguskan prinsipku deminya, demi dia yang kini bahkan tak melakukan usaha sedikitpun untuk mauku. Mungkin ini jalanku, mungkin ini yang harus tetap kujalani. Entah sampai kapan, jika ini tak jua berakhir, aku harap ini mampu buatku terus jadi kuat, dan semakin kuat, setiap harinya :))

Atribut Masalah Perasaan, lagi..

Hentikan hayalan gila yang terus saja mengganggu apabila kau sekedar hadir sebagai kameo dalam pikiranku hari ini itu sulit dan tak mudah sama sekali. Selalu begitu. Dan aku terus saja merutuki nasibku mengenang semuanya. Kata mu yang menggores luka makin dalam, kau cinta tapi tak bisa. Lalu aku, yang setiap harinya berjanji pada diri sendiri untuk lebih bisa tak peduli dan menyerah. Ternyata semua hanya omong kosong belaka. Hanya bisa menusuki jantungku apabila aku menyadarkan diriku. Kenapa beranjak sesusah ini? Bukankah kemarin hari tak kurasa lagi ini? Tapi mengapa saat berhadapan denganmu lagi, aku merasa ingin mati saja? Karna aku tak kuat menahan degup jantungku dan buruan nafasku yang tak lagi bisa ku kendalikan. Kenapa ini seperti hadir lagi? Kenapa semudah ini semuanya yang sudah susah payah kututupi dan kubekap erat timbul lagi? Kenapa waktu selama itu jadi sia sia seperti ini? Dan kenapa harus tertuju padamu yang datang dengan kata kasar lalu pergi dengan cara yang tak terajar? Entahlah aku tak mengerti atau tahu. Aku hanya ingin benar benar beranjak. Aku tak ingin jatuh lagi untuk kesekian kalinya dilubang yang sama, yang kau buat sedemikian rupa. Karena pengabaianmu, penghianatanmu, dan ketidakjelasan yang bahkan kau ciptakan sendiri itu seharusnya lebih dari cukup untuk membencimu. Namun mengapa hati selalu memaafkan? Cukup untuk dikatakan bodoh. Aku tak ingin melihatmu lagi, sukses dengan hidupmu. Sampai jumpa nanti pada masa kau yang akan menyesal :)

Kalau Saja

Kalau saja kamu peka, apa aku masih seberharap ini?

Aku juga tak pernah tahu. Karena kamu tak juga kunjung peka, menurutku. Mungkin kamu peka, namun kamu lebih senang untuk memendamnya. Membuatnya menjadi bola lantas kamu jadikan teman sepermainan seharimu.

Teruntuk kamu, seharusnya kamu sadar yang kamu hadapi dan coba kelabui bukan anak ingusan lagi. Kamu harus sadar bahwa kita sebaya, memiliki pemikiran yang bisa dikatakan sejalan. Kita memandang masa depan, kan? Namun tak jarang dari kalangan kita yang masih nyaman melihat kebelakang. Alasan yang dipakai untuk tetap melihat kebelakang itu lumayan banyak. Ada yang beranggapan bahwa masa lalu menorehkan kenangan yang lebih manis dari yang sedang dijalankan sekarang. Mungkin termasuk aku. Jika aku tak terus saja melihat kebelakang, rasanya ini tak mungkin terjadi atau tertulis. Aku pun kurang mengerti apa lagi yang kuharapkan setelah penghianatan yang telah dilakukan. Bagaimana bisa hatiku mensikronisasikan pada otak lalu meneruskannya ke segenap tubuhku bahwa hal itu dapat diabaikan dan aku masih diperbolehkan memujamu kembali. Persetan dengan cinta, lawakan macam apa ini. Dan kembali lagi. Perlukah kuhitung berapa kali kutangkap tatapanmu mencari seseorang, namun ketika berpapasan denganku langsung kau buang? Bisakah kau jelaskan siapa yang kau cari dan terus kau cari hampir setiap harinya dalam ruang kelasku? Apakah kau ingin menyebutkan nama sahabatmu? Namun tentunya kau tahu, sahabatmu yang sering kau datangi itu tidak didekat tempatku berada. Sahabatmu berada dekat dengan pintu. Sekedar informasi untukmu, apabila kau mencarinya, kau tak perlu repot - repot mencarinya kesana kemari. Sahabatmu tidak pernah berpindah dari tempat duduknya. Aku? Iya. Namun apa kau mencariku? Mencari aku yang telah kau sampingkan untuk yang lainnya? Bukan begitu, kan? Semoga kamu selalu dalam lindungan Tuhanmu :)

Kebun Salju

Ya, aku memang bukan Putri Es. Aku bahkan bukan seorang Putri. Aku hanya seseorang yang ya, biasa. Namun dikala seperti ini. Saat dimana kenyataan masih sering membenturkan kepalaku ke dinding - dinding keras yang menyakitkan, aku tetap tak juga bisa beranjak. Apa salah jika aku hanya seorang biasa? Bukankah setiap manusia mempunyai hak untuk berharap? Ya, aku hanya berharap. Tidak lebih.

Kalau ditanya apa yang kuinginkan kini, aku ingin sebuah kebun salju. Ya, dimana selalu memeluk siapapun yang memasukinya dengan hawa dingin dan beku. Membuat setiap sel disetiap tubuh memperlambat kerjanya. Aku inginkan itu.

Dan apabila ada yang bertanya padaku, untuk apa kebun salju menjadi hal yang aku inginkan, jawabanku satu. Aku ingin menitipkan memori kenangan, menitipkannya untuk beberapa waktu dan menyibukkan diri dengan urusan nyata. Dan sekiranya aku tak bisa lupa, lantas kuambil kembali. Kuharap memori kenangan itu telah dingin dan jikalau boleh membeku. Agar tak lagi mampu menghangatkan hatiku. Agar tak lagi membuatku bahagia dengan segala sesuatu yang telah lewat. Dan yang penting, tak lagi buatku berharap. Karena sekedar usaha tak cukup untuk menghapus ini semua. Dikarenakan memori yang aku ingin titipkan adalah memori terfavorit sepanjang masa-ku. Aku butuh bantuan, aku ingin beranjak. Aku butuh kebun salju.

Saya rindu, Kamu.

Saya rindu kamu. Saya rindu tawa renyah kamu, alis kamu yang bertemu ketika berpikir, senyuman kamu yang khas dengan mata yang hilang dikarenakan terlalu sipit, muka kamu ketika bingung, rengekan kamu memohon agar saya tidak lagi merajuk dengan sikap cuek kamu yang selalu saja tak bisa hilang, nyanyian yang selalu kamu lantunkan mengiringi tidur saya, kata - kata cuek namun manis yang kamu utarakan, cara kamu mencintai saya dalam kediaman yang kita ciptakan sendiri, gugupnya kamu ketika mengungkapkan bahwa kamu menyukai saya, saya rindu semuanya.

Bahkan saya rindu dibuat mencinta setengah mati karena kelakuan kamu yang aneh, menyebalkan, namun luar biasa ajaib membuat segenap hati saya menginginkan kamu. Bila diingat kembali, semua memang manis. Sangat manis hingga tak bisa saya lupakan. Tak bisa saya buang dari otak saya. Dan, tak bisa saya gantikan dengan kenangan lain, yang bahkan lebih manis. Ya, semua yang tertinggal membuat saya terus mengingatnya, tersenyum, bahagia entah karena apa.

Tapi,
Saya juga masih ingat. Bagaimana kamu mengabaikan saya secara tiba - tiba. Menjawab diam semua pesan dan telepon dari saya. Membiarkan saya berlabuh pada kegusaran tanpa henti. Kamu tahu? Pada saat itu saya benar - benar tak lagi menemukan diri saya, setiap hari yang saya pikirkan adalah kesalahan sebesar apakah yang telah saya lakukan kepada kamu hingga kamu sampai hati membuat saya kehilangan arah. Bahkan untuk memikirkan diri sendiri, saya tidak punya waktu. Kamu terlalu menyita waktu saya. Namun entah mengapa saya begitu bahagia. Padahal pada saat itu banyak teman - teman saya mengatakan bahwa kesalahan bukan berada pada saya, tapi pada kamu. Entah dari mana saya harus mengambil sudut pandang, yang jelas saya hanya mampu tersenyum menanggapinya. Saya percaya kamu, saya percaya kata - kata kamu yang mengatakan bahwa kamu menyayangi saya, dan kamu tidak akan meninggalkan saya hanya demi orang lain yang bahkan lebih cantik dari saya. Namun ternyata terlalu mempercayai seseorang itu merupakan sebuah kesalahan juga. Teman - teman saya benar, kamu salah. Kamu meninggalkan saya demi orang lain. Semua tiba - tiba menjadi sakit. Boleh bilang kalau saya kecewa? Boleh bilang kalau saya sakit hati? Ya, hati saya sakit. Terlampau sakit hingga saya tak mampu menangis lagi. Kamu dengan dia, kamu tidak perduli perasaan saya. Kamu bahkan memutuskan semuanya terlalu mudah. Seakan saya itu bukan siapa siapa. Saya sempat berpikir sehina apakah diri saya, sampai kamu tega meninggalkan saya dengan cara yang begitu. Kepercayaan diri saya terjun bebas ke titik minus. Rasanya seluruh tubuh saya kekurangan darah, ujung kaki hingga ujung kepala saya beku. Saya tidak mengerti mengapa, sungguh. Dan kamu dibuangnya. Mungkin kamu kaget, saya pun begitu. Tenang, kamu tidak pernah sendiri. Walaupun kamu begitu, saya tidak dendam. Bahkan nama kamu masuk dalam daftar orang yang saya pinta pada Tuhan selalu dikelilingi kebahagiaan. Barakallahu, kamu :)