Hari ini, sampai detik ini. Aku tahu ibu masih menyadari. Bahwa anaknya ini tak kunjung pergi. Masih tersangkut disini. Sesuatu perdana dikala dini.
Kau bisa bilang aku bodoh. Atau dungu? Terserah.
Ya, aku masih mencintainya, mungkin. Terlalu menjijikkan apabila kuungkap dengan jenis kalimat begitu. Lebih baik aku ludahi dan caci maki dengan pisau panas penuh dengan darah dendamku. Setidaknya, itu lebih baik dan terhormat. Dari mana Ibu tahu? Padahal aku sudah tak lagi menceritakannya. Aroma khasnya tak lagi dapat Ibu hirup dengan perantaraku. Atau sekedar tentang kekonyolannya, ibu tak bisa tahu. Namun Ibu tahu. entah dari mana aku pun kurang pahami. Dengan sindiran halus khas-nya ataupun sekedar perintah yang terselip nasihat. Selalu saja. Yakin betul bahwa anaknya tak juga beranjak. Bagaimanapun, dan demi apapun. Mengapa Ibu tak bisa kubohongi tanpa kuberi tanda? Tak ada kebocoran yang sengaja tersirat. Namun beliau selalu tahu.
Suatu hari dibulan Januari.
Aku tak akan pernah lupa ini. Dan tanggal berapa ini. Bahkan ragaku sendiri terjaga mandiri. Tak biasanya. Hanya untuk sekedar pengucapan disertai doa penuh arti. Harusnya ini jadi hari kami. Namun hanya karena potongan yang menyebabkan hadirnya dia didalam sini. Hah, tak bersekali aku menertawai nasib kini. Aku tak menyalahkan dia yang hadir. Aku mengecewakan sesuatu, yang aku perjuangkan ternyata mencurangiku. Dan nyatanya aku masih saja memuja sang curang. Padahal kenyataan cukup lebar untuk mencekik leherku, mengeluarkan isi perut lewat mulutku. Aku tak tahan ternyata menahan ini semua sendiri. Kuceritakan pada Ibuku kembali. setelah sekian lama kami berdiam atas topik ini. Aku menyisipkan doa kecil didalam pertambahan umurnya. Dari setiap kata yang kukeluarkan ketika bercerita tentang doaku dihari itu. Aku telah berusaha segenap jiwaku menyembunyikan sumringahku. Namun Ibu tetap saja mengetahuinya. Ibu selalu tahu, bahkan dari sorot mataku yang kian lama membiru. Ibu, Ibu, Ibu selalu tahu apa yang tak maksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar