Banyolan Si Hati Bubur

Kau yakin ini yang mereka sebut ‘cinta’ ? Mengapa aku tidak? Mengapa sinkronisasi tidak terjadi pada saat yang dibutuhkan? Apa tetesan air mata cukup untuk membuktikan bahwa itu cinta? Apa pengorbanan – pengorbanan konyol yang telah dilakukan cukup bukti untuk membuatnya pantas untuk disebut cinta? Jangan bertanya padaku, iblis. Aku yang bertanya padamu, kini.

Apa karena sebuah pesan yang tak terjawab, perilaku dingin disertai jawaban angkuh yang keluar mampu membuat cinta tersebut begitu rengkuh hingga sampai ia bermunanjat pada Tuhannya dengan tangan menggigil mengadukan kepanikannya sendiri atas rasa yang ia rasakan, sendiri.

Lagi – lagi. Bisakah cinta dirasakan oleh sebelah pihak? Aku tak pernah tahu. Bahkan mereka yang konon santer terdengar adalah maestro dalam hal itu melakukan tindakan bodoh dan bahkan lebih idiot dari kapasitas idiot rata – rata. Jadi, kesimpulannya cinta membuatmu idiot?

Lantas, siapa yang memerintahkan raga ini untuk tetap menunggu disekolahnya hingga petang tiba hanya untuk sekedar melihat dari kejauhan yang sebenarnya harus disadari olehnya bahwa mata rabunnya tetap tak begitu setuju, dan raga itu semakin tak jelas bentuknya. Namun lagi – lagi, walau hanya selayak siluet tak berseni, raga yang tak lagi ia yakini itu tetap terlihat indah. Merasakan karbondioksidanya yang terbuang kemudian bercampur di awang – awang, dalam hatinya penuh harap akan terhirup oleh saluran nafasnya. Atau sekedar mencumbu hawa tubuhnya yang tentu saja jauh dari kata tersentuh untuk radius sekitar lima belas meter dari tempat raga ini bersembunyi. Dan tahukah hal bodoh yang ia rasakan? Sebuah kehangatan yang bisa disebut menyenangkan menyelinap menerobos pintu reyot hatinya.

Ini sedang dimana? Apakah raga ini salah memasuki pintu sandiwara yang akan ia perankan? Tidak, Pemimpin teatrikal tak bernyawa ini selalu benar. Namun telah berapa kali ia jatuh? Dan tak satupun yang mampu menyembunyikan peluh nista yang tercoreng diwajahnya, kini. Lalu dalam kepanikan tak jelasnya ia bercermin dan bergumam.

“Untuk apa aku jadi orang lain?”

Dia tahu. Namun entahlah, apa yang dia bingungkan. Seharusnya kini ia berhenti menyayat hatinya dengan silet karatan. Raga ini benci kekerasan, benci kepedihan. Namun, yang sekarang ia lakukan? Ironi.

Kini ia berusaha menikahi kepasrahan. Berserah menganggap semua akan berjalan baik. Tuhan ada, kan? Dalam janji selalu ada hutang yang memang kewajiban untuk ditepati. Tuhan tak mungkin sulit dalam membayar hutang, bung.

Dan pada raga yang ia tangisi setiap malam, ia berharap banyak pada pundaknya. Seakan memapah masa depan, sendiri. Dalam terangnya lampu kamar, raga lemah ini menyemburkan mantra semestanya pada hati dan kalangan. Seharusnya mungkin tidak begitu. Namun mungkin kepanikan membutakan segalanya.

Aku dititipkan pesan oleh raga itu. Untuk segera bagi bayangan siluet tak berseni, menyadari arti dari setiap pengertian yang telah dilakukannya. Raga itu meminta pertanggung jawaban atas tindakan yang telah kau buat. Ya, kali ini kau berhasil membuatnya jatuh mencinta untuk kedua kalinya. Kau cukup beruntung, bung. Aku kira dia tak bisa mencintai lagi. Layaknya apabila kau merobek selaput dara seorang gadis, bisakah kau jahit kembali?

Hinanya masa lalu yang dia ukir tidak begitu suram. Ya, walaupun menurutnya itu suatu aib termanis yang pernah ia jalankan. Namun di aib hinanya itulah ia menemukan raga kosong yang belum tersentuh, rasa.

Mereka bersetubuh dengan rasa masing – masing. Tanpa adanya paksaan yang terjadi membuatnya semakin terlihat manis. Masih bingung? Ah, apa gunanya kuantitas yang mereka tuliskan di hasil test yang kau jalani itu, bung? Kurang kuat apa lagi kalau pada faktanya rasa yang dulu pernah tertanam belum juga hilang? Dan kau kini malah enggan menyembuhkannya untuk sekedar menggali arti? Bah, setan macam apa kau!

Kami hanyalah kumpulan jiwa yang berhimpit. Jadi maafkanlah apabila kami mencaci anda yang terbilang tak terjamah. Menjijikkan sebenarnya, namun itu harus terucap demi yang diatas. Harus kau mengerti, aku tak membahas Si Pemimpin. Dia begitu lemah. Kami sedikit tergugah untuk terlihat menjadi pribadi yang lembut.

Hanya demi kau, bung. Dia memaksa kami untuk menulis ini. Salam dari neraka bersama mereka yang nista apabila kau tak jua berubah. Berubahlah demi dia! Persetan macam apalagi ini? Tak cukupkah kau siksa satu jiwa? Argh.

Maafkan aku pengganggu pikiranku, maafkan mereka. Mereka tak bermaksud begitu, pikirku. Namun perlu kuanggukan beberapa pengajuan yang mereka ciptakan itu. Aku tersekap disini, memohon padamu berhenti menginjaknya dan mulai menggenggam tangan usang itu seerat mungkin. Diamkan sejenak konsol itu. Permainan ini lebih menyenangkan, aku siap. Kapanpun.

Aku, Raga ini, dan beberapa mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar