Mengoyak Senja


Janjimu? Kembali lagi, seperti pecahnya senja..
Kini, aku mulai membuka lembaran baru untuk hatiku. Bukan dalam arti aku membuka lebar dan secepat kilat mendapatkan pengobat hati ini. Tidak, aku adalah seseorang yang sulit sekali menjatuhkan hati untuk orang selain ibuku. Dan itu, sangat berat aku jalani ketika aku mulai menginjakkan kaki di tahap yang mereka bilang tahap pendewasaan. Kau tentu tahu, setiap orang pasti pernah merasakan cinta pertamanya. Dan, sampai saat ini. Sampai umurku cukup dewasa untuk merasakan yang juga mereka sebut cinta, tak juga aku rasakan. Bagiku, semua yang berspesies sepertiku memiliki hati dua, muka dua. Dan itu menjadi suatu alasan juga, mengapa aku takut untuk menjatuhkan hatiku kepada siapapun. Sebelumnya, aku juga menganggap cinta sebagai hal yang primitif. Sebagai sesuatu yang janggal dan suatu kebodohan yang akan manusia alami. Jadi, aku berusaha menghindarinya. Menurutku, menghabiskan waktu bersama seseorang lawan jenis hanya akan membuang waktu senggangmu. Tidak hanya itu, seperti yang dituturkan teman – temanku, mereka mampu menangisi mereka yang telah pergi dari hidupnya. Padahal, menurutku itu suatu yang aneh. Bagaimana bisa, seseorang yang tak beberapa kau kenal bisa merubah hidupmu begitu drastis, yang awalnya kau seorang pemberontak. Bisa saja kau berubah menjadi kucing manis yang tak pernah berani melawan atau bahkan menatap mata seseorang – yang – dicintai tersebut. Bah, ada hal apa ini? Persetan dengan semua. Aku makin tidak mengerti.
Banyak kata – kata tentang hal tabu itu yang telah kubaca, kutelaah, kucerna maknanya. Dan hasilnya? Aku masih saja tidak mengerti sampai pernah aku menyimpulkan bahwa – yang  – mereka  – sebut  – cinta, itu adalah sesuatu yang tak jelas. Namun agaknya karma mulai menepuk pundakku dan menyekap nafasku. Tahukah apa yang terjadi? Sepertinya kata –kata ku terpatahkan, keyakinanku terabaikan oleh akal sehat yang kemudian dialihkan oleh yang namanya cinta. Seseorang yang tak pernah aku sadari bayangannya, lebih tepatnya tak pernah aku anggap. Dia adalah teman se – SD, SMP, dan SMA ku. Namun aku tak pernah menyadarinya. Semenjak aku duduk dibangku SMP, beberapa temang santer mengatakan bahwa dia menyukaiku. Namun semua aku abaikan. Kau tahu sendirilah, bagaimana aku menganggap lawan jenis. Mereka semua omong kosong. Jadi, aku mengambil langkah untuk tidak peduli. Namun sepertinya aku tidak lagi diizinkan untuk menganggap sebelah mata cinta itu. Perlahan, dia yang namanya cukup bagus, lagi  – lagi menurut temanku. Mulai menjamah hidupku yang terlanjur rapat aku tutup.
                                                *** ᵕᴗᵕ ***
“Bil, ngapain sih lo kayak gitu mulu. Udahlah, sampe kapanpun lo nunggu dia, ga bakal berhasil men. Mending lo mulai buka lembarang baru. Lo terima Regan pelan – pelan. Apa salahnya nyoba? Toh free ini. Ehehe”
“Yaa, tapi... lo tau sendiri lah. Gimana guenya. Lo ngertikan.”
“Iye non ngerti, tapi ga capek apa lo? Nangis, galau, lo ga kasian apa sama diri lo sendiri yang terus – terusan tanpa lo sadar, lo bully habis – habisan itu”
Untuk kata – kata Winona yang terakhir itu cukup sedikit menyadarkan aku dari keterpurukan yang telah hampir lama kubina ini. Kurang lebih dua tahun–an lah. Dan sampai saat ini hatiku masih remuk redam. Sakit rasanya. Ketika engkau harus menyadari dan menahan rasa cinta yang kau punya, namun orang itu masih ada didekatmu. Astaga, telah berapa juta liter air mata yang telah aku buang selama kurang lebih dua tahun ini menangisi dia. Dan semua itu aku lakukan dalam keadaan sadar. Mungkin siapapun menganggap aku lemah dan bodoh. Hanya karena dia yang pernah aku cintai itu, aku bisa menjadi seseorang yang diperbudak cinta. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa aku begitu memandang tabu kepada cinta. Kau tahu kan rasanya mencintai seseorang? Kau tahu rasanya, kan? Pasti kau tak pernah sekalipun berfikir bahwa orang yang ada didekatmu kini, yang sekarang sedang melontarkan bumbu manis penuh warna kehidupmu itu, pergi meninggalkanmu, tanpa bekas, selamanya. Apa yang akan kau lakukan? Dan perlu kau tahu, itulah alasan mengapa aku mampu membuang air mata ini. Pedih, tapi sepertinya rasa sakit ini harus aku lupakan sekarang. Dan harus menerima orang baru dalam hidupku. Untuk menutup nganga luka ini, yang kian hari semakin pedih dan menyiksa..
                                                *** ᵕᴗᵕ ***
2 tahun kemudian ..
Aku telah menjadi individu baru yang terisi oleh segudang cinta, dari orang kedua yang pernah membuatku seperti ini. Fajar Regan Giandi, seseorang yang datang ketika dua tahun yang lalu aku masih dalam balutan luka nganga yang bernanah. Seseorang yang mempunyai sifat seperti namanya, yang berarti penguasa fajar, pengisi harapan dikotak – kotak semu yang mensyahdukan isi semesta. Dan dia melakukannya, dengan menyelipkan berbagai keadaan semu menjadi nyata dalam semesta hatiku. Dan lagi – lagi, aku sudah menjatuhkan hatiku padanya. Sepenuh hatiku. Dan kini, tepat dihari ini. Dimana hubunganku dan dia beranjak menginjak usia dua tahun. Waktu yang lebih lama dari hubunganku dengan seseorang yang acapkali kusebut dengan “dia”. Regan memiliki segala yang kuimpikan, bukan hanya sekedar apa pengisi hatiku, namun semangat hidupku yang dulu pernah terenggut oleh dia.
Aku seperti biasanya, selalu menikmati fajar pada pagi hari dan terbenamnya matahari saat cahaya sumber energi mulai bergeser oleh cahaya lampu. Dua hal yang selalu aku lakukan, yang senantiasa tanpa bosannya aku perhatikan. Menurutku dua kejadian tersebut sangat menakjubkan, tanpa bosan mereka berulang kali setiap harinya selalu melakukan tugasnya tanpa ada gangguan. Andai saja aku seperti itu, andai saja setiap manusia punya waktu dimana dia menyadari harus mulai beranjak dari masalalunya, waktu dimana dia harus mencintai seseorang yang tepat. Pasti dunia tak akan ada air mata lagi yang disebabkan oleh cinta. Namun entah mengapa, aku agak merasa janggal ketika melihat fajar pagi tadi. Saat melihat fajar, tiba – tiba sepertinya saluran nafasku terjepit. Aku tercekat, aku diam sejenak. Namun perasaan tak sedap itu aku abaikan. Aku lebih memilih bergegas mandi setelah puas melihat fajar yang menyingsing pagi yang cerah pagi ini.
Di kampus, aku menjalani hariku seperti biasa. Sampai saat pulang, Winona menghampiriku. Lantas menyuruhku menaiki mobilnya, aku bingung. Ada angin apa Winona menjemputku. Perasaan janggal mulai muncul lagi, kali ini disertai sakit kepala yang sebenarnya biasa terjadi. Namun entah mengapa, aku tetap merasa janggal. Tuhan ciptakan firasat untuk menuntun setiap umatNya pada suatu kejadian kan? Dan aku merasakannya. Sampai suatu ketika dimobil, ia berbincang kepadaku dan mengatakan.
“Lo ntar liat sunset sama gue aja ya
“Emang kenapa?
“Gak kenapa – kenapa. Pokoknya sama gue aja
“Regan gimana?
“Udah gue atur, lo tenang aja
Aku hanya tersenyum kecut sambi menganggukan pelan kepalaku. Aku hanya bingung dengan sikap Winona yang tak biasa ini. Ada apa yang terjadi sehingga dia bersikap begini. Setahuku, Winona merupakan salah satu orang yang membenci aku karena aku merupakan kekasih Regan, yang santer aku dengar adalah idola-nya sejak SMA dulu. Padahal, dia adalah orang yang menyuruhku menerima Regan. Aneh bukan? Aku sudah melupakan kejadian itu, dan melupakan segala bentuk kejadian yang dia akibatkan. Sudahlah, aku lelah berfikiran negatif. Karena itu hanya akan menambah pelik rasa sakit kepalaku yang beberapa minggu yang lalu disertai dengan retaknya tulang disekitar punggung belakangku. Namun aku fikir aku hanya terlampau lelah. Winona juga sempat menanyakan mengapa aku sering batuk. Aku katakan hanya alergi. Disepanjang jalan dia banyak bercerita, aku hanya mendengarkan. Dari cerita – ceritanya, aku menangkap bahwa ada seorang perempuan bernama Rilla yang wajahnya mirip dengan Regan. Dan Rilla teman sekampus Winona dan tentunya Regan juga. Sepanjang jalan, aku hanya mendengarkannya, tak kurang dan tak lebih.
Aku memutuskan untuk meminta diantar pulang, dan ternyata Winona memutuskan untuk menginap dirumahku dengan alasan dirumahnya tidak ada orang, awalnya aku sempat canggung. Namun, biarlah. Apa salahnya berbuat baik. Akhirnya, ketika sampai dirumahku, Winona bergegas mandi dan aku memilih untuk berdiam diri di kamar sambil membuka notebook ku. Winona meninggalkan blackberry nya disampingku. Awalnya, aku bersikap acuh tak acuh pada keberadaan benda tersebut. Namun, entah kenapa tanganku tergerak untuk mengambil dan membaca isinya. Ada sebuah blackberry messenger dari Regan. Aku mengira Regan menanyakan aku kepada Winona, dan nyatanya isi dari pesan itu sama sekali membuat aku tak mampu berkata apa – apa lagi. Demi apapun! Aku tak mampu lagi menahan getaran hebat pada tubuh dan tanganku, serta sakit yang mendera kepalaku. Seketika itu juga, mataku berkaca – kaca. Namun aku harus menahannya, sekuat tenagaku. Bagaimana mungkin Regan menuliskan seperti itu. Singkat, namun menusuk.
Win, lo dirumah diakan? Aman? Gue nginep di hotel sebelah cafe La Cozzhe. Sama rilla. Jaga dia win, gue gamau sampe berantakan rencana kita.
Apa dia bilang? “Rencana kita” ? Kau pasti mengerti rasanya. Aku tak ingin berbicara banyak. Aku tahu maksud Winona kini. Aku lebih memilih tidur, aku ingin menyelesaikan ini semua.
Pagi hari, ketika fajar belum muncul dari persembunyiannya. Aku mengirim blackberry messenger kepada Regan. Kurang lebih bunyinya menyuruh dia untuk datang ke tempat biasa kami menikmati senja turun, aku memutuskan untuk tidak mengikuti kuliah pada hari itu. Sekitar jam setengah delapan pagi, dia menjawabnya dengan iya. Seharian itu, aku menempati kerisauan yang mendalam. Kau tahu rasanya dikhianati? Pedih pasti, namun apa yang mampu kau perbuat apabila itu semua dilakukan oleh seseorang yang menjadi semangat hidupmu. Bayangkan betapa hancurnya engkau saat itu. Namun apa yang bisa kau lakukan? Tidak ada! Hah, setelah Winona pulang dari rumahku, aku mengunci diri dikamar. Aku ingin meluapkan semuanya dengan menangis, namun aku tak sanggup. Air mata terasa begitu pahit untuk aku keluarkan demi seseorang yang tak lagi pantas kau cintai.
Sore hari menjelang senjapun tiba, saat dimana aku harus menemui Regan di tempat favoritku. Aku menemukannya duduk ditempat kami biasa menunggu senja turun, dan dia menyambut kedatanganku dengan ramah. Dengan senyum hangatnya, dia mengecup keningku. Aku hanya mampu diam. Kemudian dia mulai berbicara.
“Cepet banget kita datang ya. Hehe
“Aku kesini bukan buat liat sunset
“Loh? Jadi?
Ekspresinya berubah, menjadi kaget. Aku tetap mempertahankan ekspresi datarku. Aku tak ingin raut sebenarnya terlihat. Ya, aku ingin menangis sekencang kencangnya sambil berteriak bahwa aku tak siap akan kenyataan ini. Aku terus berusaha menahan, sepertinya mataku mulai berkaca – kaca.
“Abila.... kamu kenapa? Kenapa mata kamu kayak mau nangis gitu?
Aku hanya menatapnya dengan tajam, aku tak mampu berkata. Suaraku sudah pasti akan bergetar, aku tak mau itu terlihat. Aku harus terlihat kuat dimatanya.
“Abila! Kamu kenapa?
Dia mulai menggoncangkan badanku, aku diam sambil tersenyum. Aku mulai berkata, walau aku sadar aku terbata – bata dan suaraku bergetar.
“K-kamu pass-ti, kenal rillaa-a ka-an? Dia cantik ya, dia mirip kamu yang versi cewenya. Kata or-raang, kal-lau m-mirip, pasti jo...
Dia memelukku erat, erat sekali. Isakkan tangisnya terdengar, air matanya membasahi bahuku. Namun hatiku terlampau beku, terlampau sakit yang aku rasa, hingga aku tak lagi bisa mengangis. Entah mengapa.
Disaat itu pula, matahari terbenam. Namun semua terasa lain. Matahari serasa terkoyak dan membentuk pecahan senja yang membakar semesta hati ini, namun semua terlanjur terkoyak. Aku tak mampu lagi menyusun senja menjadi simfoni. Biarkanlah aku kembali dipeluk kegelapan, disaat bulan menutupi sisa pecahan yang aku punya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar