Aku terbelenggu.
Kau mengumbar janji lantas pergi tanpa peri. Mendekati, menghunuskan belati di jantung bilik kiri. Kau mungkin berpikir dapatkan darah hingga ujung pagi, nyatanya? Kau terjebak pelangi. Lalu tetap saja kau berusaha sebaik mungkin, menutupinya dengan segala bentuk serbet, mungkin. Atau tanpa lelah kau datang menjadi malaikat bersayap putih? Yang enggan pergi namun berbisik lirih. "Darahmu kotor bak mentari pagi, sinar mu hina bak sayap cakrawala menyindir pagi. Aku berdiri atasmu, kau diam disitu, aku suka otakmu bercerai biru. Tanpa tersisa satupun ambigu."
Bahkan semesta tubuhku tak memahami hal itu. Setiap tutur yang terdengar baru, dari ujung lidahmu. Semua terdengar semu dan menjamu. Perlahan aku mencoba beranjak putar nahkoda, rasa yang aneh untuk seekor pemula. Namun terasa mudah selebihnya karena hanya meneruskan saja.
Aku diambang keberhasilan.
Kau tetap membisu, dengan pedang ditangan kirimu, yang masih saja kau biarkan membeku. Mematikan urat nadimu.
Aku puas menyaksikan pemandangan biru, di halaman baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar